Rabu, 24 Juni 2009

BAB I

PENDAHULUAN



  1. Latar Belakang

Sintesis adalah sutatu ilmu pengetahuan yang didapat dari perpaduan antara rasionalisme dan empirisme yang saling berhubungan dan saling memberi pengaruh sehinnga, pemikiran ini dapat disebut juga dialegtika-fragmatik. Dikatakan sintesis karena pemikiran ini memiliki keterkaitan antara indra dengan suatu rasio/logika, sehingga keduanya disini difungsikan secara bersama dan berhubungan satu sama lain. Bisa dikatakan teori ini lebih cenderung melihat kepada pengaruh logika dan pengalaman.

Latar belakang kami menulis makalah ini tidak lain untuk membahas sejarah para tokoh filusuf yang salah satunya Emanuel Kant karena beliau berkaitan erat dengan sintesisme.

  1. Rumusan Masalah

Disini kami akan membahas tentang:

  • Apa yang dimaksud dengan Sintesis?

  • Bagaimana Sintesis dikembangkan/difungsikan?

  • Bagaimana pendapat para tokoh tentang Sintesis?(diketahui dengan adanya teori-teori yang muncul)

  1. Tujuan Penulisan

Dalam makalah yang kami tulis, terdapat tujuan yang tersirat maupun tersurat, yaitu:

    1. Supaya kita dapat mengetahui lebih dalam tentang pemikiran Sintesis

    2. Untuk membahas dan mendiskusikan teori-teori yang muncul pada zaman itu

    3. Untuk dapat mengambil suatu pelajaran yang berharga dari pembahasan

    4. Membuka suatu pengetahuan baru tentang sejarah filsuf yang belum kita ketahui



BAB II

PEMBAHASAN


  1. SINTESIS

Sintesis adalah sebuah pemikiran yang kritis atas dua kecenderungan pokok yaitu rasionalisme dan empirisme yang mana keduanya berusaha menghancurkan sistem pengetahuan tradisional yang secara mendalam menguasai cara berfikir masyarakat.

Dengan sintesis ini, Kant menghasilkan sebuah cara berfikir barung yang menjadi pijakan dalam sejarah selanjutnya, serta sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat.

  1. Riwayat hidup Immanuel Kant (1724-1804)

Filsuf Jerman ini sepanjang hidupnya tinggal dengan bersahaja di kota Konigsberg di Prusia Timur. Di kota ini pula dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat menghargai nilai-nilai kerajinan, kejujuran dan kesalehan yang ketat. Di usia tuanya Kant teringat penuh rasa terima kasih kepada orang tuanya yang mendidiknya untuk jujur dan menghindari segala bentuk dusta. Suasana pengasuhan seperti ini besar pengaruhnya dalam pemikiran Kant yang sangat menjunjung tinggi kewajiban.

  1. Kritisme Immanuel Kant

Filsafat Kant juga disebut “kritisme”, istilah ini dipertentangkannya dengan “dogmatisme”, sementara dogmatisme merupakan filsafat yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya, kritisme dipahami sebagai sebuah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Dengan perkataan lain, Kant mengatakan bahwa kritisme adalah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki die Bedingun der Moglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) pengetahuan kita. Para filsuf sebelum Kant disebut filsuf-filsuf dogmatis, dan yang terbesar dari mereka, menurut Kant, adalah Wolff. Mereka ini bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika itu. Demikianlah dengan kata “kritik” dipahami oleh Kant sebagai “pengadilan tentang kesahihan pengetahuan” atau “pengujian kesahihan”. Gambaran tentang proses pengadilan diadakan disini. Dalam proses itu klaim-klaim pengetahuan seolah diperiksa sebagai terdakwa, cara berfilsafat semacam ini disebut “proseduralisme”. Alih-alih memusatkan diri pada isi pengetahuan, Kant lebih meminati proses atau cara memperoleh pengetahuan itu.


  1. Duduk perkara kritik atas Rasio murni

Dalam kritik der reinen vernuft, Kant mempersoalkan, apakah metafisika itu mungkin atau tidak untuk memperluas pengetahuan kita tentang kenyataan?, apakah metafisika sungguh bisa memberi pengetahuan yang pasti mengenai Allah, Kebebasan, dan Keabadian? Pertanyaan ini jelas merupakan sebuah kesangsian atas kebenaran metafisika yang pernah menjadi ratu ilmu-ilmu. Yang dipersoalkan Kant dalam metafisika adalah upaya untuk menghasilkan pengetahuan a priori atau pengetahuan murni. Yang dimaksud adalah konsep-konsepnya yang tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri, kosong dari pengalaman empiris. Kant memberi contoh, dalam kehidupan sehari-hari kalimat ‘semua peristiwa ada sebabnya’ adalah sebuah pengetahuan a priori, demikian juga, Matematika.

Bagi Kant adalah bagaimana pengetahuan a priori itu mungkin? Untuk menjawab itu, Kant mulai dengan membedakan dua macam putusan. Putusan analis adalah putusan yang predikatnya hanya merupakan analisis atas subjek saja, misalnya dalam putusan “semua benda adalah kekuasaan”, konsep keluasan hanyalah keterangan atas konsep benda. Putusan Sintesis adalah putusan yang predikatnya tidak terkandung dalam subjek, sehingga predikatnya merupakan sebuah informasi baru, misalnya dalam putusan “semua benda itu berat”, konsep ‘berat’ tidak termuat pada konsep ‘benda’, sehingga bukan keterangan atasnya.

  1. Munculnya Teori-Teori Tentang Sintesis

Dalam konteks ilmu pengetahuan, kiranya baik potensi rasio maupuan pengalaman indra perlu difungsikan secara dialektik-fungsional, saling lengkap-melengkapi dan saling uji-menguji sehingga kebenaran yang dicapai bisa diandalkan. Dengan demikian, tiga teori yang popular, yaitu teori koheren, koresponden dan teori pragmatik, kiranya memang cocok untuk dipakai sebagai landasan dasar pengukuran kebenaran ilmiah.

Pertama, teori koheren (coherrence theory). Teori koheren ini dikembangkan oleh kaum idealis, dan sering disebut sebagai ‘teori saling hubungan’ atau ‘teori konsistensi’. Disebut demikian karena teori ini menyatakan bahwa kebenaran tergantung pada adanya saling hubungan secara tepat antara ide-ide yang sebelumnya telah diakui kebenarannya. Pada dasarnya, teori ini menyakatan bahwa ‘suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan posisi-posisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman’.1

Sesuai dengan teori keheren itu, Bochenski2 berpendapat bahwa kebenaran itu terletak pada adanya kesesuaian antara suatu benda atau hal dengan pikiran atau idea (the thing is ini accord with the tough). Para filosof pada umumnya, seperti yang dikatakan oleh Bochenski, menyebutnya sebagai kebenaran ontologik (ontological truth). Maksudnya adalah pemikiran atau ide yang di dalamnya terkandung pengetahuan atau pengalaman amat menentukan adanya kebenaran. Jadi, tanpa adanya pemikrian atau pengalaman, kebenaran itu tidak pernah ada, memang ciri khas idealisme adalah pendapatnya bahwa pengetahuan itu kreatif, mampu mencitakan objek itu sendiri (knowledge is creative. It creates its object).

Selanjutnya, kaum idealis pada umumnya mengatakan bahwa “kebenaran itu adalah sistem pernyataan yang bersifat konsisten secara timbal balik, dan tiap-tiap pernyataan memperoleh kebenaran dari sistem tersebut secara keseluruhan” (truth is a reciprocally consistent system of proposition, each of wich gets its truth from the whole system)3.

Dengan demikian, jelas bahwa teori koheren yang dikembangkan oleh kaum idealis tersebut menekankan pada adanya saling hubungan antara proposisi yang satu dengan yang lain secara menyeluruh. Suatu proposisi merupakan bagian kebenaran menyeluruh itu. Jadi, prinsip kesatuan (unity) antarproposisi mengenai suatu objek adalah tolok ukur utama.

Akan tetapi, teori koheren yang tamoaknya logis dan sistematis itu bisa saja menyatakan suatu kebohongan atau ketidakbenaran. Teori ini masih mengandung kelemahan, yaitu belum menunjuk adanya korespondensi dengan fakta. Sebab, suatu pendapat tidak ada artinya, betapapun pendapat itu logis dan sistematis jika tidak ada hubungannya dengan fakta. Teori koheren bagaikan hampir tidak memecahkan persoalan sehari-hari.

Kedua, adalah teori koresponden (correspondence theory). Kalau teori koheren diterima secara luas oleh kaum idealis, maka teori koresponden ini diterima oleh kaum realis dan bahkan mungkin oleh kebanyakan orang. Teori ini antara lain menyatakan bahwa ‘jika suatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri’.4

Kattsodd (1987) menyatakan bahwa paham yang mengatakan suatu pernyataan itu benar, jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya yang dinamakan paham’korespondensi’. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (korespondensi) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya.

Terhadap suatu pendapat yang mengatakan nahwa ‘diluar hujan turun’ misalnya, maka teori ini menuntut adanya fakta hujan turun benar-benar terjadi di luar. Jadi, bukan hanya sekedar ide tentang hujan turun belaka. Kalau teori koheren di atas bersifat rasional aprioris, maka teori koresponden ini bersifat empiris aposterioris.

Ketiga, teori kegunaan (pragmatic theory). Kedua teri diatas ternyata memandang masalah kebenaran menurut dua sisi yang berbeda dan bahkan bertentangan. Teori yang satu (teori koheren memandang dari sisi menyeluruh, umum, universal, dan ideal, sedangkan teori yang lain (koresponden) memandang kebenaran dari sisi yang konkret, khusus dan realistis. Maka, kiranya adan dapat diperoleh suatu pengukuran kebenaran yang lebih jelas apabila dipergunakan secara dialektik dan saling uji-menguji, sehinggasuatu kebenaran dapat memenuhi baik verifikasi logis maupun empirisnya. Dengan demikian, pada hal itu kiranya mudah dipahami oleh kebanyakan orang.

Di samping itu, pengetahuan yang benar mengenai suatu objek sebenarnya tidak bisa terbatas pada masalah arti dan kebenarannya saja. Karena, masalah kebenaran dalam hidup dan kehidupannya, sehingga wajarlah jika masalah kebenaran ini perlu dipandangan dari segi nilai kegunaannya bagi hidup dan kehidupan manusia sehari-hari. Untuk itu, ‘pragmatisme’ memandang kebenaran menurut segi kegunaan.

Kebenaran menurut teori pragmatisme bermula dari keyakinan, yaitu suatu sikap yang pasti berdasarkan pengetahuaanya mengenai suatu objek. Selanjtnya, sikap itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, yaitu berupa langkah-langkah yang berhubung-hubungan dalam satu sistem. Dimana langkah yang pertama berguna (untilized) dan dapat dikerjakan (workable) bagi langkah-langkah selanjutnya. Dengan prinsip-prinsip yang demikian itu dapat terwujud dan menghasilkan sesuatu yang memuaskan (satisfactory results)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

  1. Sintesis adalah sebuah pemikiran yang kritis atas dua kecenderungan pokok yaitu rasionalisme dan empirisme yang mana keduanya berusaha menghancurkan sistem pengetahuan tradisional yang secara mendalam menguasai cara berfikir masyarakat.

  2. Filsuf Jerman ini sepanjang hidupnya tinggal dengan bersahaja di kota Konigsberg di Prusia Timur. Di kota ini pula dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat menghargai nilai-nilai kerajinan, kejujuran dan kesalehan yang ketat. Di usia tuanya Kant teringat penuh rasa terima kasih kepada orang tuanya yang mendidiknya untuk jujur dan menghindari segala bentuk dusta. Suasana pengasuhan seperti ini besar pengaruhnya dalam pemikiran Kant yang sangat menjunjung tinggi kewajiban.

  3. Filsafat Kant juga disebut “kritisme”












DAFTAR PUSTAKA


Van Peursen, Kwee Mooij, Beerling. Pengantar Filsafat Ilmu. PT Yarawacana. 2003. Yogyakarta.

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. ArRuzz Media. 2005. Yogyakarta.

Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Bumi Aksara. 1995. Jakarta

Sumantri, Jujun. Pengantar Filsafat Ilmu. Pusataka Sinar Harapan. 2001. Jakarta

Hardiman, Budi. Filsafat Modern. Gramedia Pustaka Tama. 2007. Jakarta


1 L.O. Kattsoff:1987

2 Philosophy an Introduction: 1972

3 Titus dkk.: 1984

4 Titus dkk.: 1984

Tidak ada komentar:

Posting Komentar